Materi Lengkap Zaman Mesolitikum (Zaman Batu Tengah)

Materi Lengkap Zaman Mesolitikum (Zaman Batu Tengah) – Zaman prasejarah terbagi menjadi 2 bagian, yakni zaman batu dan zaman logam. Pada masa prasejarah masyarakat purba diketahui belum mengenal aksara dan untuk berkomunikasi mereka menggunakan gambar yang berupa lambang-lambang, manusia, atau hewan. Zaman batu sendiri terbagi menjadi empat, yakni paleolitikum, mesolitikum, neolitikum, dan megalitikum.

Zaman Batu Tengah dan Perkembangan Budayanya

Pengertian mesolitikum ini diambil dari makna secara bahasa yang diartikan sebagai batu tengah. Sehingga, mesolitikum dianggap sebagai zaman batu madya atau tengah. Mesolitikum dikatakan sebagai zaman batu tengah karena, diperkirakan terjadi pada masa holosen yang terjadi sekitar 10.000 tahun lalu. Para ahli mengungkapkan bahwa manusia prasejarah masih menggunakan batu untuk alat sehari-hari.

Zaman batu madya ternyata jauh lebih maju dibandingkan dengan zaman paleolitikum yang terjadi sebelumnya berdasarkan urutan zaman batu pada masa prasejarah. Terjadi perkembangan budaya yang cepat di mesolitikum berkat beberapa faktor yang mempengaruhi. Faktor pertama yang menyebabkan mesolitikum lebih maju dibanding paleolitikum ialah keadaan alam pada masa ini relatif lebih stabil.

Sehingga, manusia yang hidup pada zaman mesolitikum bisa hidup dengan suasana yang lebih tenang. Hal ini berbanding lurus dengan proses pengembangan kebudayaan pada masa mesolitikum. Seperti yang tercatat di dalam sejarah bahwa jenis manusia di masa mesolitikum yang mendukung perkembangan kebudayaan ialah jenis homo sapiens.

Disebutkan pula bahwa kehidupan manusia pada zaman batu tengah sudah berbeda dengan zaman paleolikum, meski perbedaannya tidak terlampau jauh. Layaknya manusia di masa paleolitikum, manusia mesolitikum juga memenuhi kebutuhan keseharian dengan mengumpulkan makanan dan juga berburu. Bedanya, manusia mesolitikum lebih cerdas dibandingkan dengan manusia yang hidup di zaman paleolitikum.

Faktor yang juga turut mempengaruhi perkembangan kebudayaan pada zaman mesolitikum ialah para homo sapiens sudah mulai menetap dan membangun tempat tinggal yang semi permanen. Di mana masyarakat mesolitikum ini juga mulai bercocok tanam, meskipun dengan cara yang masih sederhana. Tepi pantai (kjokkenmoddinger) dan gua-gua (abris sous roche) dipilih sebagai lokasi para masyarakat mesolitikum untuk tempat tinggal.

Tidak heran jika banyak peninggalan yang ditemukan di lokasi tersebut sebaga sebuah bukti dari zaman batu tengah saat homo sapiens hidup. Mereka hidup dengan memanfaatkan tulang dan tanduk hewan sebagai alat-alat yang digunakan di dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam mengumpulkan makanan. Hal ini ternyata memiliki kesamaan dengan masa paleotikum yang juga menggunakan tulang sebagai alat untuk mengumpulkan makanan.

Pulau Sumatera, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara Timur menjadi lokasi yang paling banyak ditemukannya alat-alat dari peninggalan zaman mesolitikum. Homo sapiens yang hidup di zaman batu tengah ini telah memiliki kemampuan dalam membuat gerabah yang berbahan tanah liat. Hal ini dibuktikan dengan penemuan benda bersejarah berupa Kapak Genggam Sumatera, flake di daerah Toala, dan alat dari bahan tulang (bone culture) di Sampung.

Ciri-ciri Zaman Batu Mesolitikum

Masyarakat yang tinggal pada zaman batu tengah sudah tidak lagi nomaden atau sudah mempunyai tempat tinggal yang semi permanen yang letaknya di tepi pantai atau di gua-gua. Homo sapiens menjadi jenis manusia yang hidup di zaman batu mesolitikum dan lebih cerdas dibandingkan dengan manusia yang hidup di zaman batu paleolitikum. Di mana masyarakat mesolitikum sudah memiliki kemampuan bercocok tanam, meski masih sederhana.

Manusia pada zaman mesolitikum diketahui sudah bisa membuat kerajinan dari gerabah yang berbahan tanah liat. Namun, masih memiliki kebiasaan yang ssama dengan masyarakat paleolitikum, yakni mengumpulkan makanan atau yang dikenal sebagai food gathering. Di mana alat-alat yang dihasilkan juga hampir sama yaitu terbuat dari batu dan masih kasar.

Ciri yang terdapat pada zaman batu mesolitikum ini juga ditemkannya sampah dapur yang disebut kjoken mondinger. Kecerdasan homo sapiens yang hidup di zaman batu tengah ini terlihat juga dari tatanan sosial yang lebih rapih, tertata, dan juga maju. Hal ini yang turut membuktikan bahwa zaman batu mesolitikum lebih baik dibanding pada zaman batu paleolitikum. Bangsa melanosoid menjadi salah satu jenis manusia pendukung mesolitikum.

Kebudayaan Peninggalan Zaman Batu Mesolitikum

Abis sous roche yang menjadi tempat tinggal para manusia purba pada zaman mesolitikum Fungsi dari gua abis sous roche ini tentu sebagai rumah atau tempat berlindung dari cuaca dan binatang buas. Dr. Van Stein Callenfels menjadi seorang yang pertama kali melakukan penelitian terkait peninggalan kebudayaan ini pada tahun 1928-1931 di gua Lawa, dan di sini ditemukan banyak alat-alat pada zaman batu mesolitikum.

Kebudayaan peninggalan zaman batu mesolitikum selanjutnya yaitu kjokkenmoddinger, yang istilahnya berasal dari Bahasa Denmark yaitu kjokken yang berarti dapur dan modding yang memiliki makna sebagai sampah. Sehingga, dapat ditarik kesimpulan bahwa kjokkenmoddinger merupakan sampah dapur yang ditemukan dalam bentuk fosil yang berasal dari timbunan atau tumpukan kulit kerang dan siput sehingga mencapai ketinggian ± 7 meter.

Kjokkenmoddinger yang ditemukan di tepi pantai timur Sumatera, antara daerah Medan hingga Langsa ini turut menjadi bukti bahwa manusia purba di zaman mesolitikum telah menetap atau tidak lagi berpndah-pindah (nomaden). Dr. Van Stein Callenfels melanjutkan penelitannya pada tahun 1925 yang memfokuskan pada kjokkenmoddinger, dan menghasilkan sebuah penemuan terkait kapak genggam yang berbeda dengan zaman paleolitikum.

Kebudayaan peninggalan di zaman batu mesolitikum ini banyak yang merupakan tulang dari sampung. Hal ini yang menjadi cikal bakal dari sebuah Sampung Bone Culture, karena para arkeolog banyak menemukan peralatan berupa tulang sampung. Kebudayaan yang juga ditemukan sebai penanda zaman batu mesolitikum ialah kebudayaan bacson-hoabinh. Para peneliti banyak menemukannya di dalam bukit dan gua.

Kebudayaan bacson hoabinh ini adalah kebudayaan zaman mesolitikum yang banyak ditemukan di dalam bukit-bukit kerang dan gua di Indo-China yang terletak di Sumatera bagian timur, dan Melaka. Bacson hoabinh yang ditemukan berupa batu giling. Di zaman itu, setiap orang meninggal, maka mayatnya diposisikan dengan posisi berjongkok kemudian diberi cat warna merah, agar dapat mengembalikan hayat kepada mereka yang masih hidup.

Kebudayaan toala juga turut mewarnai adanya zaman batu tengan mesolitikum, yang bentuknya menyerupai batu api dari Eropa, seperti kaleson, jaspis, obsidian dan kapur. Budaya toala ditandai dengan setiap yang meninggal akan dikuburkan di dalam gua dan saat tulang belulangnya telah mengering akan diberikan kepada keluarganya sebagai kenang-kenangan. Kaum perempuan akan menjadikan tulang belulang tersebut sebagai kalung.

Alat-alat Zaman Batu Mesolitikum

Pebble Sumatera (Kapak Genggam Sumatera) ditemukan oleh Dr. Van Stein Callenfels pada tahun 1925, saat sedang melakukan penelitian terhadap kjokkenmoddinger di bukit kerang. Kapak Genggam Sumatera ini terbuat dari batu kali yang dipecah pecah. Pada zaman  batu mesolitikum atau batu tengah ini juga ditemukan alat berupa hachecourt (Kapak Pendek) yang juga ditemukan di tahun dan tempat yang sama oleh Dr. Van Stein Callenfels.

Pemberian nama pada jenis kapak yang menjadi alat peninggalan zaman batu mesolitikum ini dikarenakan, hachecourt lebih pendek dari pebble. Pipisan juga menjadi alat yang ditemukan sebagai penanda dari adanya zaman mesolitikum, yang berupa batu-batu penggiling beserta dengan landasannya. Masyarakat mesolitikum menggunakan pipisan untuk menggiling makanan, dan menghaluskan cat merah yang berasal dari tanah merah.